OJEK ONLINE BUKAN BURUH, MELAINKAN MITRA

 Penulis: Bayu Sanggra Wisesa, S.H., M.H., C.Med., CHCO.


Buruh/pekerja sejarahnya berasal dari perbudakan di zaman Belanda. Buruh/pekerja di zaman kolonial merupakan budak dimana penduduk pribumi dipaksa untuk bekerja tanpa diberi upah dan diperjualbelikan serta tidak memiliki hak untuk menolak jika dipekerjakan artinya budak pada masa kolonial Belanda dianggap hanya sebagai barang. Namun ketika tahun 1984 Belanda menghapuskan system perbudakan melalui Regelings Reglement (RR).

Berlanjut sampai Indonesia merdeka pada tahun 1945 pemerintah Indonesia mengeluarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) yang mengenal peraturan dalam pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh seorang buruh, namun definisi buruh tidak dijelaskan secara eksplisit tetapi dapat ditemukan di pasal 1601a Aturan Peralihan UUD 1945 “Suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan dengan upah selama waktu tertentu”. Sehingga buruh adalah pihak pertama, yaitu pekerja yang mengikatkan dirinya kepada pihak kedua yakni majikan.

Namun kata “mengikatkan” ini menurut penulis masih bersifat universal sehingga tahun 1948 terjadi pemogokan besar-besaran yang mengganggu stabilitas ekonomi Indonesia pada saat itu sehingga di tahun 1951 lewat peraturan kekuasaan militer Nomor 1 tahun 1951 tentang penyelesaian pertikaian perburuhan. Pemerintah menerbitkan undang-undang darurat No. 16 tahun 1951 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan “barang siapa bekerja pada majikan dengan menerima upah”.

Seiring berjalannya waktu konsep kata buruh diperluas menjadi tenaga kerja hingga pada tahun 2003 lewat UU. No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagaerjaan subjek hukum yang diatur tidak hanya pekerja, melainkan juga buruh sehingga buruh/pekerja juga mendapatkan perlindungan hukum. Masih dalam konteks buruh/pekerja bahwa dalam pekerjaan itu harus terdapat tiga unsur sehingga bisa dikatakan sebagai perikatan, yakni perintah, kerjaan, dan upah.

Dalam kasus ojek online, penulis tidak melihat bahwa driver ojek online menerima upah langsung dari perusahaan, melainkan sebagai mitra yang saling bekerja sama dimana perusahaan memberikan semacam wadah sedangkan driver menyediakan jasa sehingga perusahaan dengan driver merupakan kerja atau bisa dibilang mitra.

Arti kata mitra sendiri dalam KBBI merupakan teman, sahabat, kawan kerja, rekan pasangan kerja dan ojek online bukan termasuk pada buruh yang di jelaskan dalam UU No. 13 Tahun 2003 dimana, yang dimaksud dengan hubungan kerja ditandai dengan adanya ikatan antara pimpinan perusahaan/majikan dengan buruh yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja.

Sehingga pada dasarnya dasar hukum yang tepat untuk melindungi para driver ojek online bukan dengan UU No. 13 Tahun 2003 melainkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UU UMKM) serta PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Sehingga kesimpulannya ojek online itu bukan merupakan buruh/pekerja melainkan sebuah hubungan mitra kerja sehingga menggolongkan ojek online sebagai buruh/pekerja sangat tidak sesuai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POSISI PUTUSAN MK

PERSPEKTIF SINGLE BAR / MULTI BAR

SERTIFIKAT HGB DAN HM PAGAR LAUT DI TANGERANG