TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN SECARA UMUM

 Penulis: Bayu Sanggra Wisesa, S.H., M.H., C.Med., CHCO.

Sebagaimana diketahui bahwa jika terjadi kerugian, likuidasi atau kepailitan dalam suatu perusahaan, yang berhak bertanggung jawab terhadap pihak ketiga yakni perusahaan itu sendiri selaku kesatuan (melalui para pengurusnya). Perusahaan adalah subjek hukum yang dalam statusnya dibedakan menjadi 2 jenis:

1.      1. Perusahaan berbadan hukum, perseroan terbatas, koperasi, yayasan, asuransi, dana pensiun dll.

2.     2. Perusahaan tidak berbadan hukum, perseroan komanditer (CV/commanditaire vennootschap), firma, persekutuan perdata/bulgerlijk maatschap, asosiasi, dll

    Apabila perusahaan berbadan hukum pengurusnya melakukan pengelolaan sesuai dengan aturan main yang tertuang dalam anggaran dasar perusahaan maka tanggungjawab para pengurus terhadap pihak ketiga hanya berupa ganti rugi atau bertanggung jawab sampai kepada memenuhi kewajiban perusahaan sebesar nilai aset atau kebendaan (aktiva) yang masih dimiliki perusahaan. Pengurus atau direksi dalam kedudukannya sebagai pengurus atau direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas perbuatannya yang merugikan pihak ketiga jika yang ia yakini sebagai tindakan terbaik untuk perusahaan yang dilakukan secara jujur dan dengan itikad baik tanpa bertentangan dengan hukum.

    Jika pengurus perusahaan melakukan tindakan atau kegiatan yang menyimpang dari anggaran dasar perusahaan dan ketika dilakukan pengecekan dan ternyata aset perusahaan sudah tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban terhadap pihak ketiga, pengurus bertanggungjawab renteng untuk seluruhnya kepada pihak (hoofdelijk aansprekelijk) dan masing-masing secara pribadi sampai kepada harta pribadi. Khusus untuk perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas para pemegang sahamnya tidak dapat dimintai pertanggung jawaban secara pribadi melebihi nilai saham yang telah dimasukkan dalam perusahaan. Namun apabila pemegang saham telah terbukti dengan itikad buruk memanfaatkan perusahaan untuk kepentingan pribadi serta dibuktikan dengan ikut terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perusahaan atau menggunakan kekayaan peusahaan yang mengakibatkan kekayaan perusahaan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang atau kewajiban kepada pihak ketiga maka pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi sampai pada harta pribadi, bahkan jika seandainya perusahaan tersebut tidak atau belum memenuhi syarat sebagai badan hukum maka pemegang saham yang biasanya juga sebagai pendiri turut bertanggung jawab sampai kepada harta pribadi.

   Namun bagaimana nasib para pekerja yang bekerja diperusahaan yang sedang mengalami masalah tersebut ? bagaimana tanggungjawab perusahaan terhadap para pekerjanya ?

    Jika kita berbicara mengenai perusahaan dan pekerja tentunya kita tidak lepas dari peran pihak ketiga selaku pemerintah karena pada prinsipnya perjanjian kerja itu tidak melibatkan dua pihak saja namun juga pemerintah selaku pihak ketiga. Bagaimana peran pemerintah terhadap konflik perusahaan dengan pekerja ? tentunya dengan diciptakannya hukum ketenagakerjaan yang basisnya untuk melindungi hak-hak pekerja. Dalam hal yang menjadi persoalan bagaimana jika kewajiban perusahaan terhadap buruh/pekerja yang telah dirugikan atau belum terbayarkan hak-hakya ?

   Secara umum jika merujuk pada KUHPerdata (burgerilijke wetboek) pada pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata semua aset perusahaan mulai dari yang sudah ada maupun yang akan ada, benda bergerak atau tidak bergerak menjadi tanggungan perusahaan dalam melakukan perikatan dan aset kebendaan tersebut akan menjadi jaminan bagi para kreditur, lalu hasil dari penjualan tersebut dibagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing. Namun pembagian tersebut tidak dilihat dari besar kecilnya piutang melainkan berdasarkan hak istimewa kreditur.

   Kreditur harus dipisahkan menurut tinkatan kelasnya. Tingkatan kreditur terdapat tiga kelas, yakni kreditur separatis, kreditur preferen dan kreditur konkuren. Tingkatan kreditur tersebut harus dipenuhi hak-haknya berdasarkan urutannya.

Dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 95 ayat (4) buruh/pekerja masuk dalam kelas kreditur preferen yang lebih diutamakan ketika perusahaan telah dinyatakan pailit atau likuidasi.

Pasal 95

(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.

(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.

(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.

(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya.

Namun hal ini juga harus dilihat secara komprehensif ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, baik Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Perpajakan, KUHPerdata (pasal 1139 dan pasal 1149), Vendu Reglement serta Undang-Undang terkait. Sehingga hak-hak kreditur preferen harus didahulukan setelah hak-hak dari kreditur separatis dipenuhi. Kelompok kreditur separatis meliputi hipotik, gadai, fidusia dan hak tanggungan sehingga memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari kreditur preferen.

Kreditur preferen juga diberikan hak untuk didahulukan pembayarannya semata-mata berdasarkan sifat piutangnya dan sifat piutang ini juga diistimewakan terhadap benda-benda tertentu dan kreditur pada tingkatan kreditur preferen dibagi berdasarkan tingkatannya juga, yang jelas diantara kreditur preferen pemenuhan hak-hak buruh/pekerja dilakukan setelah kewajiban kepada negara (pajak), biaya perkara dan biaya lelang dan yang terakhir adalah kreditur konkuren yaitu kreditur yang tidak memegang hak jaminan kebendaan tetapi memiliki hak untuk menagih debitur berdasarkan perjanjian.

Sehingga dalam pemenuhan hak-hak buruh/pekerja atau karyawan apabila perusahaan terjadi pailit atau kerugian atau penutupan, hak buruh/pekerja diberikan setelah hak dari kreditur separatis dipenuhi, setelah hak-hak kreditur separatis dipenuhi barulah hak-hak kreditur preferen seperti biaya-biaya lelang, kewajiban kepada negara terpenuhi, biaya perawatan dll sampai kepada kreditur preferen tingkatan terakhir buruh/pekerja, dilanjutkan dengan kreditur konkuren.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POSISI PUTUSAN MK

PERSPEKTIF SINGLE BAR / MULTI BAR

SERTIFIKAT HGB DAN HM PAGAR LAUT DI TANGERANG