PEMIDANAAN HAKIM DUGAAN PEMALSUAN BERDASARKAN PASAL 263 KUHP

 Penulis: Bayu Sanggra Wisesa, S.H., M.H., C.Med., CHCO.

            Di Indonesia dalam implementasinya, konsep bernegara dibagi menjadi tiga kekuasaan, yakni yudikatif, eksekutif dan legislatif. Ketiga struktur inilah merupakan pondasi Indonesia dalam menjalankan konsep bernegaranya dan konsep ini dalam bahasa latin bernama trias politica yakni tiga poros kekuasaan dimana diadopsi dari seorang filsuf Yunani Montesquieu. Tiga poros kekuasaan yang ada dalam trias politica merupakan pilar dari demokrasi dimana ketiga lembaga tersebut saling lepas tetapi saling berkaitan satu sama lain dan tidak ada yang lebih tinggi dari satu Lembaga lainnya.

            Dari ketiga poros tersebut penulis tertarik mendalami kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi. Dalam sejarah di Indonesia penulis baru mengetahui ada sembilan hakim konstitusi yang di polisikan akibat merubah isi putusan dalam perkara 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang—Undang No 7 Tahun 2020, yang dimana terjadi perubahan satu kalimat yang sebelumnya berbunyi “dengan dimikian” menjadi “ke depan” yang di bacakan oleh salah satu hakim Mahkamah Konstitusi.

            Dalam kasusnya bahwa hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara 103/PUU-XX/2022 tentang uji materi Undang—Undang No 7 Tahun 2020 telah dilaporkan oleh Polda Metro Jaya akibat dugaan pemalsuan putusan yang merubah kalimat “dengan demikian” dengan “ke depan” yang mana secara substansi telah berbeda dan pihak yang terkait dapat dirugikan secara materil maupun imateril sehingga dilaporkanlah hakim-hakim Mahkamah Konstitusi tersebut ke Polda Metro Jaya.

Dari perspektif penulis sendiri walaupun ini masih bisa salah akan tetapi menurut penulis bahwa sebagaimana dapat diketahui dalam pernyataan penggugat sebenarnya tidak terjadi kesalahan dalam penulisan putusan maupun risalah sesuai dengan realita yang terjadi dan penulis tidak melihat kesalahan penulisan kalimat “dengan demikian” dan “ke depan” dalam putusan dan risalah nomor 103/PUU—XX/2022 berbeda dengan isi dari rekaman audio yang di dapat pada situs resmi Mahkamah Konstitusi, dimana pada waktu 1:05:50 hakim konstitusi membacakan putusan dengan kalimat “dengan demikian” sedangkan dalam putusan No. 103/PUU-XX/2022 halaman 51 dan risalah sidang No. 103/PUU-XX/2022 halaman 25 menggunakan kalimat “ke depan” sehingga ini masuk dalam kategori pemalsuan sesuai dengan pasal 263 KUHP.

Jika merujuk pada perbedaan antara putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) dengan apa yang tertulis (vonnis), maka sebenarnya yang sah adalah yang diucapkan oleh hakim karena dalilnya itu, lahirnya sebuah putusan itu sejak diucapkannya. Sehingga jika kita mengacu pada keduanya maka yang dibenarkan adalah apa yang diucapkan dipersidangan. Dan terkait dengan sanksi pidana bagi hakim-hakim konstitusi bahwa tidak ada aturan yang mengatur secara eksplisit bahwa hakim tidak dapat dipidana karena kesalahan tulisan putusan, diperlukan pembuktian yang kuat bila ingin menghukum hakim yang lalai akan kewajibannya akan tetapi di Belanda dikenal dengan istilah judicial liability dimana ini merupakan konsep pertanggungjawaban hakim terhadap putusannya. Walaupun penulis tidak sepenuhnya setuju dengan sanksi pidana bagi hakim akan tetapi lain hal jika hakim terbukti tertangkap tangan dengan sengaja salah melakukan tindakan kriminalisasi. Akan tetapi bagi mereka yang lalai cukup mendapat sanksi administratif saja. Namun untuk saat ini di Indonesia masih menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1976 yang menegaskan hakim tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum terhadap putusan yang dibuatnya sehingga hakim tidak dapat digugat secara pidana maupun perdata mengacu Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1976. Dari tulisan atas terdapat kesimpulan dan saran dari penulis yakni:

Kesimpulan

1.       Dari tulisan penulis bahwa putusan No. 103/PUU-XX/2022 sah secara hukum dikarenakan bahwa lahirnya suatu putusan itu sejak diucapkannya.

2.           Hakim secara tegas dilindungi oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1976 untuk dimintai pertanggungjawabannya secara pidana maupun perdata.

Saran

1.      Jika terdapat pelanggaran atau kelalaian pada hakim baik itu disengaja maupun tidak disengaja hendaknya diserahkan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk ditindaklanjuti atau diberhentikan menjadi hakim.

2.      Hakim tidak boleh kebal dari hukum, Indonesia harus membuat suatu aturan yang menjelaskan pertanggungjawaban hakim terhadap putusan yang telah diputus guna melindungi pihak-pihak yang berperkara agar tidak terjadi kerugian materil maupun immaterial.

Dasar Hukum

1.      File Audio Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU-XX/2022

2.      Hukumonline.com

3.      Putusan Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU-XX/2022

4.      Risalah Mahkamah Konstitusi No. 103/PUU-XX/2022

5.      Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun 1976

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POSISI PUTUSAN MK

PERSPEKTIF SINGLE BAR / MULTI BAR

SERTIFIKAT HGB DAN HM PAGAR LAUT DI TANGERANG